Sejarahdan Lokasi Makam Keramat Habib Ali bin Umar Bafaqih - Bliau adalah seorang wali yang selama hidupnya banyak menyebarkan Agama Islam di kawasan Kabupaten Jembrana. Bliau merupakan tokok Islam yang berasal dari Kota Banyuwangi yang datang ke Pulau Bali pada tahun 1917.
Bukanhanya itu, Urwah Al Bariqi juga dikenal sebagai sosok yang mampu menjual barang apapun yang ada di tangannya. 5. Umar bin Khatab. Sahabat Rasulullah berikutnya yang sukses menjadi pengusaha adalah Umar bin Khatab. Sama seperti Abdurrahman bin Auf, Umar bin Khatab juga merupakan pengusaha properti yang sukses.
Beliauadalah putri Raja Pemecutan, Cokorda III yang bergelar "Ida Bhatara Sakti" yang memerintah sekitar tahun 1653 M. Sehingga kini, makam tersebut bukan saja dihormati oleh umat Islam, tetapi
SejarahKehidupan Siti Khadijah di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan.
BerandaTokoh Terharu, Makam Mbah Moen Berjarak 500 Meter Dari Makam Siti Khadijah. Terharu, Makam Mbah Moen Berjarak 500 Meter Dari Makam Siti Khadijah. Dimas Choirul. 08/08/2019 | 14: 45: "Di Ma'la biasanya hanya sebagai tempat pemakaman khusus orang-orang Makkah. Kami terus memastikan agar Mbah Moen bisa dimakamkan di sana," ujar
Vay Tiền Trả Góp 24 Tháng. Suara Denpasar – Pulau Dewata Bali bukan soal pesona wisata pantai dan alam yang memikat hati para wisatawan mancanegara hingga domestik untuk datang. Tetapi juga memiliki wisata religi Islam yang tidak pernah diketahui pubik. Wisata islam ini menyimpan banyak peristiwa tentang penyebaran agama Islam pertama di Pulau Bali. Bahkan menyimpan berbagai kisah mistis. Di Bali sendiri ada 7 wisata religi yang keberadaan hingga saat ini masih terjaga dan masih dikunjungi oleh penduduk lokal Islam di Bali. Berikut 7 lokasi wisata religi Islam yang disarikan dari berbagai sumber yang ada Baca Juga3 Series dan Film Adhisty Zara Terbaru, Ada Virgo and The Sparklings 1. Makam Wali Negara atau Datuk Lebai Melayu Habib Ali Bin Umar Bafaqih Makam Habib Ali bin Umar Bafaqih lokasi tidak jauh dari pusat Kota Kabupaten Jembrana. Makam ini berlokasi di Jalan Nangka No. 145 Desa Loloan Barat Kecamatan Negara Jembrana. Sekedar diketahui lokasi makam dari Datuk Lebai Melayu kelahiran Banyuwangi Jawa Timur ini berada di Area Pondok Pesantren Syamsul Huda yang didirikannya pada tahun 1935. Menariknya, beliau saat mudanya pernah belajar memperdalam ilmu ke tanah Mekkah selama 7 tahun lamanya. Sepulangnya dari Makkah, beliau juga pernah mondok di salah satu pesantren di Jombang, sampai akhirnya beliau datang berdakwah di pulau Bali atas permintaan Datuk Kyai Haji Mochammad Said seorang ulama besar di Loloan untuk menyebarkan Agama Islam. Baca JugaSoal Transfer Raffi Ahmad, Aldila Jelita Merasa Diserang, Pengacara Indra Bekti Cuma Bercanda Maka tidak heran banyak dari warga Kabupaten Jembrana Bali mengikuti ajarannya dengan memeluk agam Islam. 2. Makam Wali Karangrupit, The Kwan Lie atau Syekh Abdul Qodir Muhammad Makam Syekh Abdul Qadir Muhammad terletak di Desa Temukus berada tepat di samping Pura Agung Labuan Aji, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Syekh Abdul Qadir Muhammad datang ke Bali untuk mensyiarkan agama Islam mulai dari Karangasem, Buleleng, hingga Jembrana. Kini makam beliau ramai dikunjungi oleh para peziarah dari dalam dan luar Bali. 3. Makam Wali Bukit Bedugul atau Syekh Habib Umar Bin Maulana Yusuf Al-Maghribi Makam Habib Umar Bin Maulana Yusuf Al-Maghribi yang berlokasi di Puncak Bukit Tapak, di tengah area hutan cagar alam kebun Raya Bedugul milik Perhutani Bali yang hutannya masuk sebagai wilayah konservasi. Makam Habib Umar Bin Maulana Yusuf Al-Maghribi merupakan salah satu Wali di Bali yang berjasa dalam mensyiarkan Islam di kawasan pegunungan Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Tabanan dan sekitarnya. Makam Habib Umar bin Yusuf Al-Magribi ramai dikunjungi peziarah pada hari Sabtu dan Minggu, serta saat Hari Raya Idul Fitri. 4. Makam Wali Kembar Karangasem atau Syekh Maulana Yusuf Al-Baghdi dan Habib Ali Bin Zaenal Abidin Al-Idrus Makam Keramat Kembar Karangasem di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Di dalam satu cungkup makam kembar ini terdapat makam Habib Ali bin Zainal Abidin al-Idrus berjajar dengan makam tua/kuno yang identitasnya masih simpang siur. Makam kembar Karangasem biasanya ramai dikunjungi peziarah menjelang bulan puasa, atau hari-hari libur. Peziarah mayoritas berasal dari Jawa dan Kalimantan. Sedangkan peziarah dari luar negeri yang datang rutin tiap tahun berasal dari Malaysia, Singapura, dan Maroko. 5. Makam Wali Kusamba atau Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar Al-Khamid Makam ini terletak di tepi pantai Desa Kusamba, Kecamatan Dawah, Kabupaten Klungkung, Bali. Sewaktu hidupnya, Habib Ali bin Abu Bakar al-Hamid pernah menjadi penasehat dan guru bahasa Melayu bagi Raja Klungkung saat itu, Dalem I Dewa Agung Jambe. Selama menjalankan tugasnya, Habib Ali juga memanfaatkan waktunya untuk berdakwah kepada keluarga istana dan orang-orang yang berhubungan dengannya. Keberadaan makam Habib Ali sangat dikeramatkan oleh penduduk setempat, baik umat Islam maupun Hindu. Hal ini terbukti dari para peziarah yang tidak hanya berasal dari kalangan Muslim, melainkan juga dari mereka yang beragama Hindu. 6. Makam Wali Seseh Mengwi, Pangeran Mas Sepuh atau Syeh Achmad Chamdun Choirussoleh Pangeran Mas Sepuh atau Syeh Achmad Chamdun Choirussoleh berlokasi di Banjar Seseh, Desa Cemagi, Kecamatan Mengwi, Badung. Syekh Achmad Chamdun Choirussholeh atau Raden Amangkuningrat atau Pangeran Mas Sepuh adalah sosok sakti mandraguna putra dari Raja Mengwi I dengan ibundanya adalah putri dari Kerajaan Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur. Pangeran Mas Sepuh datang ke Bali semata-mata ingin menemui ayahnya di Mengwi. Sebab, Pangeran Mas Sepuh tidak pernah bertemu sang ayah sejak lahir ke dunia. Banyak cerita menyebutkan bahwa Raja Mengwi I meninggalkan Blambangan dan kembali ke istananya di Mengwi, saat Pangeran Mas Sepuh masih dalam kandungan. Setibanya Pengeran Mas Sepuh di Kerajaan Mengwi, ternyata sang ayah telah wafat. Terjadilah perselisihan dengan keluarga Kerajaan Mengwi, hingga akhirnya Pangeran Mas Sepuh meninggalkan istana. Saat dalam perjalanan setelah keluar dari Kerajaan Mengwi, segerombolan orang menyerang Pangeran Mas Sepuh. Pertempuran hebat pun terjadi, namun tak satu pun senjata dari gerombolan orang itu yang mampu melukai Pangeran Mas Sepuh. 7. Makam Ratu Ayu Anak Agung Rai atau Raden Ayu Siti Khotijah. Makam Pangeran Sosrodiningrat berlokasi di dekat terminal bus kota Denpasar. Sedangkan makam Ratu Ayu Anak Agung Rai, Dewi Khodijah berada di jalan Batu Karu kota Denpasar Barat, searah dengan jalan menuju perumnas Monang-maning Denpasar. Pangeran Sosrodiningrat adalah seorang senopati dari Mataram yang terdampar di pulau Bali saat sedang berlayar menuju Ampenan pulau Lombok. Di pulau Bali, Pangeran Sosrodiningrat kemudian dimintai kesediaannya oleh Raja I Gusti Gede Pamecutan untuk memimpin prajurit yang sedang berperang melawan Kerajaan Mengwi. Raja Pamecutan juga berjanji kepadanya apabila perang telah usai dan meraih kemenangan, maka ia akan dinikahkan dengan putrinya. Karena jasanya membantu Raja Pamecutan meraih kemenangan, Pangeran Sosrodiningrat akhirnya dinikahkan dengan putrinya, Ratu Ayu Anak Agung Rai. Setelah dipersunting oleh Pangeran Sosrodiningrat, Raden Ayu kemudian memeluk agama Islam dan namanya diganti menjadi Raden Ayu Siti Khotijah. Setelah menikah, Raden Ayu juga bersungguh-sungguh dalam menekuni, mempelajari dan melaksanakan ajaran Islam secara baik. Namun dianggap oleh keluarganya bahwa itu adalah ajar sesat, siti khadijah akan tahu bahwa beliau akan dibunuh oleh utusan sang raja. Sebelum dibunuh dia menyampaikan pesan untuk lemparlah cucuk kondenya ke arah dada siti khadijah sebelah kiri. Jika sudah meninggal, dari badan akan keluar asap. Bila asap yang keluar dari badan saya berbau busuk, meminta untuk dimakamkan sembarangan. Tapi, jika asap dari badan berbau harum, tolong dibuatkan tempat suci yang disebut keramat. Apa yang terjadi benar saja meninggal dengan keadaan bau harum serta makamnya terus menjulang pohon yang dianggap tumbuh dari rambut siti khadijah. Kini makam keduanya ramai menjadi tujuan tempat berziarah bagi para peziarah yang datang baik dari Bali maupun dari luar pulau Bali. ***
Setelah memeluk agama Islam, Raden Ayu Siti Khotijah rajin menunaikan kewajiban agama. Sholat lima waktu tak pernah ditinggalkannya. Dream - Raja Pemecutan Denpasar memiliki seorang putri cantik yang amat disayangnya. Putri Raja Pemecutan bernama Gusti Ayu Made Rai. Raja Pemecutan begitu menyayanginya. Kecantikannya tersohor se-Bali. Sehingga tak sedikit pangeran dari kerajaan lain yang ingin mempersunting Gusti Ayu Made Rai. Saat beranjak remaja, musibah menimpa Gusti Ayu Made Rai. Ia terkena penyakit kuning liver. Bertahun-tahun penyakit itu tak dapat disembuhkan meski sejumlah Balian dukun telah dipanggil untuk mengobati putri kesayangan raja. Pada suatu saat, ayah Gusti Ayu Made Rai melakukan tapa semedi untuk meminta petunjuk Tuhan Yang Maha Esa untuk kesembuhan putrinya. " Ayah Gusti Ayu Made Rai mendapat pawisik bisikan dari Yang Maha Kuasa agar beliau memerintahkan seluruh patih kerajaan untuk mempersiapkan pengumuman sayembara," kata Jro Mangku I Made Puger, juru kunci makam Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah saat ditemui Senin 6 Juni 2016. © Dream Pengumuman sayembara itu dilakukan tak hanya di Bali, tetapi juga bagi kerajaan lain di luar Bali. Ada dua titah raja pada sayembara tersebut. Pertama, barang siapa yang dapat mengobati dan menyembuhkan penyakit anaknya, kalau dia perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja. Kedua, kalau dia laki-laki, jika memang jodohnya akan dinikahkan. " Sabda sayembara Raja Pemecutan didengar oleh ulama dari Yogyakarta. Ulama ini memiliki ilmu kebatinan tinggi dan memiliki anak didik kesayangan dari Bangkalan, Madura bernama Pangeran Cakraningrat IV," tutur Jro Mangku. Ulama dari Yogyakarta itu memanggil Pangeran Cakraningrat IV untuk datang ke Yogyakarta. Setelah menghadap, sang ulama memerintahkan agar Pangeran Cakraningrat IV pergi ke tanah Bali untuk menemui Raja Pemecutan Badung. Singkat cerita, Pangeran Cakraningrat IV berangkat ke Bali ditemani oleh 40 orang prajurit. Sesampainya di Kerajaan Pemecutan, Pangeran Cakraningrat IV langsung menemui Raja Pemecutan dan mengutarakan maksud untuk mengobati tuan putri yang tengah sakit keras. © Dream " Pada saat pertemuan pertama dan bertatap mata antara Pangeran Cakraningkrat IV dan Gusti Ayu Made Rai, beliau berdua sudah jatuh cinta," ucap Jro Mangku. Selanjutnya, Pangeran Cakraningkrat IV membacakan mantra untuk menyembuhkan penyakit tuan putri. Pangeran Cakraningrat IV berhasil menyembuhkan putri kesayangan raja. Sesuai janji raja, keduanya pun dinikahkan. Bukan karena janji semata, pernikahan itu memang dilandasi cinta oleh Pangeran Caraningkrat IV dan Gusti Ayu Made Rai. Beberapa saat setelah menikah, Pangeran Cakraningrat IV mohon pamit kembali ke Bangkalan, Madura. Gusti Ayu Made Rai yang telah sah menjadi istrinya diajak ikut serta. Di Bangkalan, Madura, kedua mempelai diupacarai secara Islami. Gusti Ayu Made Rai menjadi muallaf pemeluk agama Islam. Nama beliau diubah menjadi Raden Ayu Siti Khotijah alias Raden Ayu Pemecutan. Setelah memeluk agama Islam, Raden Ayu Siti Khotijah rajin menunaikan kewajiban agama. Sholat lima waktu tak pernah ditinggalkan oleh istri keempat Pangeran Cakraningrat IV itu. Suatu hari, Raden Ayu Siti Khotijah meminta izin kepada suaminya, Pangeran Cakraningrat IV untuk pulang sebentar ke kampung halamannya di Bali. " Beliau rindu dengan ayah, ibu dan keluarga besar Kerajaan Pemecutan. Pangeran Cakraningrat IV mengizinkan beliau pulang ke Bali. Beliau memerintahkan pengawal dan dayang-dayang sebanyak 40 orang untuk mengawal Raden Ayu Siti Khotijah," kata Jro Mangku. Sebelum pergi ke Bali, Pangeran Cakraningrat IV memberikan bekal kepada istrinya berupa guci, keris dan pusaka yang diselipkan di rambut Raden Ayu Siti Khotijah. Dalam perjalanan Raden Ayu Siti Khotijah dari tanah Bangkalan menuju Bali, keluarga besar Kerajaan Pemecutan tengah mempersiapkan upacara Maligia. Sesampainya di Kerajaan Pemecutan, Raden Ayu Siti Khotijah dan rombongan disambut baik oleh keluarga besarnya. Saat Maghrib tiba, Raden Ayu Siti Khotijah menunaikan sholat di Merajan Istana, tempat suci bagi umat Hindu. Seperti biasa, Raden Ayu Siti Khotijah mengenakan mukena putih dan menghadap ke arah barat. Patih kerajaan melihat Raden Ayu Siti Khotijah tengah menunaikan kewajibannya sebagai umat Muslim. Patih kerajaan menganggap aneh cara sembahyang Raden Ayu Siti Khotijah. Sebaliknya, patih menduga Raden Ayu Siti Khotijah tengah mengeluarkan mantra ilmu hitam leak. Sontak ia melaporkan hal tersebut kepada Raja Pemecutan yang tak lain ayah Raden Ayu Siti Khotijah. Raja sangat marah mendapat laporan patih. Raja memerintahkan agar Raden Ayu Siti Khotijah dibunuh. © Dream Patih mengajak Raden Ayu Siti Khotijah ke depan Pura Kepuh Kembar. Raden Ayu Siti Khotijah mengaku telah memiliki firasat jika ia akan dibunuh. Maka, ia pun meninggalkan pesan kepada patih sebelum mengembuskan napas terakhir. " Janganlah saya dibunuh dengan memakai senjata tajam karena itu tidak akan dapat membunuh saya. Pakailah cucuk konde saya ini yang telah disatukan dengan daun sirih dan diikat benang Tridatu benang tiga warna; putih, hitam dan merah," kata Jro Mangku. " Nanti lemparlah cucuk konde ini ke arah dada saya sebelah kiri. Apabila saya sudah meninggal, dari badan saya akan keluar asap. Bila asap yang keluar dari badan saya berbau busuk, silahkan paman patih tanam mayat saya sembarangan. Tapi, jika asap dari badan saya berbau harum, tolong buatkan saya tempat suci yang disebut keramat," pesan Raden Ayu Siti Khotijah. Benar saja, begitu cucuk konde ditancapkan, dari tubuh Raden Ayu Siti Khotijah mengeluarkan asap dan aroma harum. " Kejadian ini dilaporkan kepada raja. Raja sangat menyesal atas keputusannya," tuturnya. Saat itu, begitu jasad Raden Ayu Siti Khotijah dikebumikan, tumbuhlah sebatang pohon setinggi 50 sentimeter di tengah makam beliau. Dicabuti sampai tiga kali pohon itu tumbuh kembali. " Kakek dan nenek saya yang saat itu ditugaskan menjadi juru kunci akhirnya bersemedi. Raden Ayu Siti Khotijah berpesan agar pohon yang tumbuh di tengah makam dipelihara dengan baik karena pohon ini tumbuh dari rambut beliau. Melalui pohon ini Allah SWT memberi mukjizat dan rezeki kepada umat yang berziarah," katanya. Hingga kini, pohon tersebut terus menjulang tinggi dan diberi nama pohon rambut atau taru rambut. Tiap harinya, selalu ramai umat Islam berkunjung ke makam Raden Ayu Siti Khotijah. Apalagi menjelang Ramadan seperti saat ini, sudah barang tentu ramai peziarah. Laporan Berry Putra, Bali Baca Juga Jalur Kereta Api Ini Menyimpan Kisah Pilu Muslim Desak Hagia Sophia Dibuka untuk Sholat Ramadan Unik di Saudi, dari Meriam hingga THR Gratis Lezatnya Menu Berbuka Puasa Khas dari Berbagai Negara Traveling Saat Ramadan? Wajib Perhatikan Hal Ini
Setelah ditemukannya makam Walipitu ke-1 di atas, kemudian ditemukan 2 makam keramat lainnya di kota Denpasar, yakni 1 Makam keramat Pamecutan, milik Gusti Ayu Made Rai, alias Raden Ayu Siti Khotijah di Jln. Batu Karu Pamecutan Kota Denpasar Barat, dan 2 Makam keramat Pangeran Sosorodiningrat dari Mataram Islam di desa Ubung, dekat terminal Bus kota Denpasar. Menurut Tim penelusuran dan penelitian Walipitu, kedua tokoh ini tidak termasuk hitungan Walipitu Bali. Makam keramat Pangeran Sosrodiningrat, menurut cerita versi ke-1 merupakan makam milik Pangeran Sosrodiningrat, suami Raden Ayu Siti Khotijah. Dia menikai Siti Khodijah karena telah berjasa membantu ayahandanya, Raja I Gusti Ngurah Gede Pamecutan, ketika berperang melawan Kerajaan Mengwi dan mendapat kemenangan. Lokasi makamnya di kampung Ubud dekat terminal bus kota Denpasar. Kini, makam keramat Pangeran Sosrodiningrat dibawah pengawasan dan pemeliharaan Bapak Ishaq, sesepuh Kampung Islam Kepaon Denpasar. Sedangkan Makam Keramat Pamecutan merupakan makam Islam milik seorang putri kerajaan Badung-Pamecutan yang bernama asli Gustu Ayu Made Rai. Nama lainnya adalah Raden Ayu Anak Agung Rai dan Raden Ayu Siti Khotijah nama setelah dia masuk Islam. Menurut satu sumber dari keluarga Puri Pamecutan Lanang Dawan, bahwa Raden Ayu adalah putra Raja Pamecutan III yang bergelar Ida Bhatara Maharaja Sakti, dan adik dari Raja Pemecutan IV, I Gusti Ngurah Gede Pemecutan. Sedangkan menurut sumber yang lain Bpk KH M. Ishak, tetua desa Kepaon, beliau adalah adik dari Raja Cokorda Pamecutan III. Lolasi makamnya di Jl. Batu Karu kota Denpasar Barat, searah dengan jalan menuju perumnas Monang-maning Denpasar. Makam keramat ini berhadapan dengan sebidang tanah yang cukup luas sebagai tempat “ngaben” pembakaran mayat umat Hindu. SEJARAH TOKOH. Siapa sebenarnya Raden Ayu Siti Khotijah?. Dalam hal ini terdapat dua versi cerita yang berkembang di tengah masyarakat. Versi 1 Sejarah, cerita, mitos ataupun legenda versi pertama ini bersumber dari buku “Sejarah Wujudnya Makam Sab’atul Auliya’, wali pitu di Bali”, berdasarkan keterangan dari KHM Ishak, tetuta agama Islam di Kampung Islam Kepaon Denpasar yang memiliki hubungan dekat dengan kerabat Puri Pemacutan, sebagai berikut Raden Ayu Siti Khodijah adalah nama beliau setelah berikrar masuk agama Islam. Nama aslinya adalah Ratu Ayu Anak Agung Rai. Dia adalah putri Raja Pemecutan Cokorda III yang bergelar Bathara Sakti yang memerintah sekitar tahun 1653 M Menurut sumber lain, memerintah tahun 1697 dan wafat tahun 1813 M.. Raden Ayu Siti Khotijah dinikahkan dengan Pangeran Sosrodiningrat alias Raden Ngabei Sosrodiningrat yang telah berjasa membantu kerajaan Badung Pamecutan berperang melawan kerajaan Mengwi pada tahun 1891, sampai membawa kemenangan. Pada waktu Raja Pamecutan tengah berperang, salah seorang prajuritnya menahan seorang pengelana di Desa Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Orang yang ditahan tersebut diduga menjadi telik sandi atau mata-mata musuh. Ia lalu dihadapkan kepada Raja Pamecutan untuk diusut. Akhirnya diketahui, ternyata dia adalah Pangeran Sosrodiningrat, seorang senopati dari Mataram yang sedang berlayar menuju Ampenan pulau Lombok. Namun perahu yang ditumpanginya bersama 11 orang pengiring dihantam badai yang cukup dahsyat sampai kapalnya pecah dan tenggelam. Pangeran Sosrodiningrat berhasil lolos dari kematian dan terdampar di pantai selatan Desa Tuban kecamatan Kuta, kabupaten Badung, sementara 11 orang pengiringnya tidak diketahui nasibnya. Setelah mengetahui identitasnya sebagai seorang senopati Mataram, Raja Pamecutan meminta kesediaannya untuk memimpin prajurit yang sedang berperang. Raja Pamecutan berjanji kepadanya, apabila perang telah usai dan meraih kemenangan, maka ia akan dinikahkan dengan putrinya. Pangeran bersedia membantu untuk memperkuat pasukan yang sudah ada di medan perang, tanpa memikirkan janji raja. Dia malah berpikir apakah mungkin dapat menikah dengan seorang putri yang beragama Hindu, sedangkan dirinya beragama Islam. Setelah perang selesai dan dimenangkan oleh pasukan Kerajaan Pamecutan, maka Raja memenuhi janjinya dan Pangeran Sosrodiningrat benar-benar dinikahkan dengan putrinya, Ratu Ayu Anak Agung Rai. Setelah dipersunting oleh Pangeran, Raden Ayu kemudian memeluk agama Islam, namanya diganti menjadi Raden Ayu Siti Khotijah. Dia bersungguh-sungguh menekuni, mempelajari dan melaksanakan ajaran Islam secara baik. Setelah berlangsung beberapa tahun, musibah datang menimpa Raden Ayu. Pada suatu malam, seperti biasanya dia mengerjakan shalat tahajjud dengan mengenakan mukena / rukuh berwarna putih didalam kamarnya yang gelap di lingkungan komplek keputren Pura Pemecutan. Pintu kamarnya yang biasanya selalu tertutup, saat itu dalam posisi terbuka karena dia lupa tidak menguncinya, sehingga punggawa kerajaan yang sedang berjaga-jaga ketika itu secara tidak sengaja melihat gerakan tangan yang sedang diangkat keatas untuk takbirotul ihrom sambil membaca “Allohu Akbar”, yang menurut pendengaran punggawa tersebut berbunyi “makeber”,yang dalam bahasa Bali berarti “terbang”. Seluruh gerak-gerik sholat Raden Ayu tersebut terus diperhatikan oleh punggawa dan dikiranya sebagai pekerjaan leak orang jadi-jadian yang berbuat jahat. Karena menurut keparcayaan masyarakat Bali, diantara ciri-ciri leak adalah berpakaian putih-putih dan anggota tubuh seperti tangan, kepala dan kaki tertutup rapat, sedangkan gerakan sujud, duduk dan jongkok rukukseolah-olah persiapan leak untuk terbang. Sang punggawa langsung saja melaporkan kepada Raja, bahwa di kamar Keputren ada leak yang sedang beraksi dan akan terbang. Raja sangat marah setelah mendapatkan laporan tersebut dan tanpa pikir panjang lalu memerintahkan beberapa punggawa lainnya agar segera mendatangi kamar tersebut dan membunuh apa yang mereka sangka sebagai leak itu. Para punggawa secara cepat melaksanakan perintah sang Raja. Mereka mendatangi kamar Raden Ayu yang masih dalam keadaan terbuka. Ketika itu Raden Ayu sedang sujud. Tanpa memikirkan risiko yang akan terjadi, para punggawa menyerbu kedalam kamar dengan senjata terhunus dan langsung menancapkan tombaknya tepat ke punggung Raden Ayu, dan kontan saja darah segar muncrat ke atas disertai suara jeritan “Alloohu Akbar” tiga kali. Bersamaan dengan itu, terjadilah keanehan yang luar biasa, bahwa darah segar yang keluar dari punggung Raden Ayu memancarkan cahaya terang kebiru-biruan ke atas, menembus dinding-dinding atap kamar menyebar ke langit dan menerangi Pura Pamecutan. Bahkan seluruh kota Denpasar pun terlihat terang-benderang seperti keadaan di siang hari. Seluruh penduduk kota Denpasar sangat terkejut dengan kejadian tersebut, terutama keluarga dan Raja Pamecutan sendiri. Selang beberapa saat, para punggawa melaporkan kepada Raja, bahwa yang dibunuhnya ternyata bukan leak, melainkan Raden Ayu Siti Khotijah. Itulah peristiwa tragis yang terjadi di Pura Pamecutan akibat salah terka dari para punggawa, serta kurangnya kewaspadaan dan tanpa penyelidikan secara cermat oleh baginda Raja, sehingga Raden Ayu menjadi korban pembunuhan atas perintah baginda Raja sendiri. Jenazah Raden Ayu yang masih dalam keadaan tertelungkup-sujud dengan tombak yang terhunjam di punggungnya sulit dicabut dan dibujurkan. Keluarga kerajaan berusaha ingin menolong untuk mencabut tombak dari punggung Raden Ayu tidak dapat berbuat apa-apa. Baginda Raja kemudian meminta bantuan umat Islam yang ada di sana kampung Kepaon agar merawat jenazah putrinya menurut tata-cara Islam. Umat Islam segera membantu merawat jenazahnya, mulai dari memandikan, mengafani, mensholati, sampai memakamkannya dan semuanya berjalan lancar. Namun ada satu hal yang tak dapat diatasi, yaitu batang tombak yang menghujam di punggungnya tidak dapat dicabut. Akhirnya, atas keputusan semua pihak, jenazah dimakamkan bersama tombak yang masih berada di punggungnya. Anehnya, batang tombak dari kayu tersebut bersemi dan hidup sampai sekarang, menjadi sebuah pohon besar yang berdiri tegak di atas makamnya. Versi 2 Sejarah, cerita, mitos ataupun legenda menurut versi yang kedua bersumber dari buku “Sejarah Keramat Agung Pamecutan, Makam Raden Ayu Pamecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah”, yang ditulis oleh juru kunci makam keramat Pamecutan, Jro Mangku I Made Puger, sebagai berikut Gusti Ayu Made Rai merupakan salah satu putri kesayangan Raja Pamecutan, I Gusti Ngurah Gede Pamecutan, yang sangat cantik. Ketika menginjak dewasa, Sang putri bertahun-tahun tertimpa penyakit liver penyakit kuning.. Berbagai upaya sudah dilakukan, namun tidak sembuh. Sang Raja memutuskan untuk melakukan “tapa semedi” di Pamerajan puri, yaitu suatu tempat suci didalam istana. Dari sana beliau mendapatkan pawisik 16 agar Sang Raja mengadakan sayembara sabda pandita ratu, yang isinya, bahwa Barang siapa yang berhasil mengobati dan menyembuhkan penyakit putrinya, kalau dia perempuan maka akan diangkat menjadi anak angkatnya. Kalau dia lelaki dan memang jodohnya maka akan dinikahkan dengan putrinya itu. Sayembara telah tersebar ke seluruh jagat dan sampai ke pulau Jawa. Salah seorang syekh dari Yogyakarta mendengar hal itu. Segeralah ia memanggil dan memerintahkan Pangeran Cakraningrat IV, salah satu murid kesayangannya yang sangat tampan dari Bangkalan Madura, agar bersedia mengikuti sayembara di Puri Pamecutan Bali. Pangeran Cakraningrat IV mentaati perintah gurunya itu, maka berangkatlah ke Bali dengan diiringi oleh 40 orang pengiring. Ia kemudian menemui Raja Pamecutan untuk ikut bersaing dalam sayembara yang juga diikuti oleh banyak pangeran atau putra raja dari berbagai kerajaan di Nusantara, terutama dari Bali sendiri. Ringkas cerita, ketika sampai pada gilirannya, sang Raja memanggil putri Gusti Ayu Made Rai dan diperkenalkan kepada Pangeran Cakraningrat IV. Perkenalan dan pandangan pertama putri kepada Pangeran ini membuat hati kedunya bergetar, suatu pertanda ada perjodohan. Pengobatan pun dimulai dan dalam waktu singkat penyakit putri dapat disembuhkan secara total. Sang Raja kemudian memanggil Pangeran ke istana untuk mengucapkan terima kasih dan menanyakan tanggapannya terhadap putrinya. Dijawab oleh Pangeran bahwa sejak perkenalan pertama, dia sudah terpesona dan mencintai sang putri, demikian pula sebaliknya tanggapan sang putri. Sang Raja lalu menikahkan Pangeran Cokroningrat IV dengan putrinya di Puri Pamecutan yang disaksikan oleh 40 pengiring Pengeran dan segenap keluarga Raja. Selang beberapa hari setelah pernikahan tersebut, Pangeran Cokroningrat IV berpamitan dan mohon diri untuk pulang dengan membawa serta isterinya ke Bangkalan Madura. Sesampainya di Bangkalan Madura, diadakan peresmian pernikahan kedua bangsawan tersebut menurut tradisi Islam. Tak lama berselang, Ratu Ayu Made Rai menyatakan diri masuk Islam dan namanya pun diganti menjadi Raden Ayu Siti Khotijah. Setelah keislamannya itu, Raden Ayu sebagai seorang muslimah yang taat, selalu berusaha menjalankan ajaran agama Islam secara tekun, terutama sholat lima waktu dan tahajud, puasa dam ibadah lainnya, serta selalu berusaha meningkatkan kualitas agamanya dengan aktif mengikuti pengajian-pengajian. Sekalipun sebagai isteri keempat, kehidupan Raden Ayu bersama ketiga isteri Pangeran Cokroningrat IV lainnya terbilang rukun, tentram dan damai. Raden Ayu Siti Khotijah sudah beberapa tahun tinggal di dekat suaminya. Ia rindu kepada ayah, bunda dan keluarganya di puri Pamecutan. Pangeran Cokroningrat IV sangat mengerti dan memaklumi keinginan isterinya itu. Mengingat kesibukannya yang begitu padat, Pangeran tidak sempat mengantarkannya sendiri ke puri Pemecutan, akan tetapi menugaskan kepada 40 orang yang terdiri dari pengawal dan danyang untuk mengiringi isterinya. Pangeran hanya memberinya bekal berupa guci kuna, keris dan benda pusaka “tusuk konde” yang diselipkan di rambut isteri. Sesampainya di puri Pemecutan, Raden Ayu beserta rombongan disambut keluarganya dengan suka cita. Raden Ayu tidur di kamar komplek keputren puri Pemecutan, sedangkan rombongannya menginap di Taman Kerajaan di Monang-Maning Denpasar. Ketika tiba waktu sholat maghrib, dia melaksanakan sholat maghrib di Merajan Puri tempat suci didalam istana. Tahlilan di makam Siti Khotijah Raden Ayu melaksanakan sholat sambil menghadap ke kiblat barat dengan mengenakan mukena rukuh berwarna putih. Ketika itu Patih kerajaan secara tidak sengaja melihat gerak-gerik sholatnya seperti berdiri, rukuk, sujud, dan duduk yang menurutnya sangat aneh, karena umat Hindu di Bali melakukan sembahyang sambil menghadap ke arah timur bukan ke barat. Patih kerajaan memang hampir tidak pernah menyaksikan orang-orang Islam sembahyang menghadap ke barat, sehingga wajar bila ia menganggapnya aneh. Dengan cara sholat seperti itu, Raden Ayu dikira sedang “ngeleak” mempraktekkan ilmu hitam leak. Ki Patih kemudian memberitahukan hal itu kepada Raja bahwa putrinya sedang mempraktekkan ilmu hitam leak, dan seketika itu Raja sangat murka. Tanpa mengkonfirmasikan hal itu kepada putrinya, sang Raja langsung memerintahkan ki Patih agar membunuh putrinya tersebut. Ki Patih mengajak Raden Ayu yang diiringi oleh 40 pengawal dan danyangnya menuju ke Setra pekuburan di Badung. Sesampainya di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu menegaskan dan berpesan kepada Ki Patih, sebagai berikut “Paman Patih, aku sudah punya firasat bahwa aku dibawa ke sini akan dibunuh. Oleh karena ini perintah ayahku selaku Raja, silahkan paman Patih laksanakan. Perlu paman Patih ketahui, di “Pemerajan” tadi aku sedang menuju Alloh, melaksanakan sembahyang maghrib sesuai tata cara agama Islam yang aku anut. Tidak ada niat jahat, apalagi ngeleak. Kalau paman Patih ingin membunuh aku, janganlah menggunakan senjata tajam. Percuma, tidak akan mempan. Akan tetapi gunakan cucuk kondeku ini yang digulung dengan daun sirih dan diikat dengan benang tridatu benang tiga warna putih, hitam dan merah. Selanjutnya, tusukkan cucuk konde tersebut ke dadaku. Bila aku sudah mati, maka akan keluar asap dari badanku. Jika asap tersebut berbau busuk, kuburlah mayatku di sembarang tempat. Tetapi jika berbau wangi, tolong buatkan aku tempat suci yang disebut keramat kuburan”. Ki Patih melaksanakan apa yang telah disarankan oleh Raden Ayu. Seketika itu, Raden Ayu roboh dan wafat. Dari badannya keluar bau sangat wangi seperti bau kemenyan madu atau menyan arab yang menyebar ke seluruh Setra pekuburan yang luasnya 9 Ha. Pengiring Raden Ayu asal Bangkalan, Ki Patih dan pengawal kerajaan yang menyaksikan kejadian tersebut ada yang pingsan dan menangis histeris. Di malam itu juga jenazah Raden Ayu dimakamkan di situ. Selanjutnya, Ki Patih dan pengiring Raden Ayu menemui Raja dan menyampaikan pesan-pesan yang diucapkan oleh putrinya sebelum wafat. Sang Raja sangat terkejut dan menyesal terhadap tindakan dan perintahnya yang gegabah, lalu memerintahkan agar dibuatkan “keramat” buat putrinya dan Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala Istana Pemecutan diangkat sebagai perawat atau juru kunci makam secara turun temurun, sampai keturunannya yang sekarang. TARU RAMBUT diatas makam Siti Khotijah. Sehari setelah pemakaman, tumbuh sebuah pohon tepat di tengah-tengah kuburan Raden Ayu. Oleh juru kunci, pohon setinggi 50 cm itu dicabutnya. Malamnya tumbuh lagi dan besoknya dicabut lagi. Begitu seterusnya sampai terulang tiga kali. Juru kunci lantas bersemedi atau tirakat di depan makam Raden Ayu dan mendapatkan bisikan ghaib agar pohon tersebut dipelihara dan terus dibiarkan hidup, karena pohon itu diyakini tumbuh dari rambut Raden Ayu, sehingga sampai saat ini pohon tersebut terkenal dengan sebutan “Pohon Rambut”, bahasa Balinya “Taru Rambut”. Tweet Share Share Share Share
Wali Pitu Bali – Salah satu tujuan pariwisata di Bali yang banyak diminati oleh wisatawan muslim yang sedang datang untuk liburan di Bali ialah Paket Ziarah Wali Pitu Bali. Paket perjalanan wisata rohani atau wisata religi ini banyak dicari oleh kalangan pengajian, pesantren maupun individual yang ingin napak tilas wali pitu di keberadaan para penyebar agama islam ini pada jaman dahulu membuat Pulau Bali banyak memiliki penganut Agama Islam. Dan walaupun para pemuka agama tersebut sudah tiada, namun keberadaan makam keramat bliau juga sangat sering di kunjungi oleh para wisatawan yang ada 7 buah makam keramat yang sering di kunjungi oleh para wisatawan yang datang ke Bali. Untuk itu kami merangkum halaman Wali Pitu Bali ini sebagai bahan refrensi anda saat akan mengunjungi makam keramat di Bali Wali Pitu di BaliHabib Ali bin Umar Bafaqih Desa Loloan Barat, Kabupaten Jembrana Raden Mas Sepuh/ Pangeran Mangkuningrat Pantai Seseh, Kabupaten Badung Habib Ali bin ABu Bakar bin Umar bin Abu Bakar Al Hamid Pantai Kusamba, Kabupaten Klungkung Habib Ali Zainal Abidin Al Idrus Bungaya, Kabupaten Karangasem Syekh Maulana Yusuf Al Baghdi Al Maghribi Kabupaten Karangasem Habib Umar bin Maulana Yusuf Al Maghribi Bedugul, Kabupaten TabananSyekh Abdul Qodir Muhammad Karangkupit Temukus, Kabupaten Buleleng Menurut pustaka lainnya, juga terdapat salah satu makam lainnya yang sering di kunjungi oleh para jamaah rohani, ialah makam Siti Khadijah putri dari Raja Cokorde Pemecutan III yang masuk agama Islam setelah menikah dengan Prabu Cakraningrat IV yang berasal dari Bangkalan Madura. Terlbih lagi lokasi makam ini berada di kawasan Kota Denpasar, jadi sembali checkin di hotel tempat menginap, banyak wisatawan yang mampir ke lokasi makam-makam ini juga banyak berada di sekitar pemukiman masyarakat Hindu, bahkan perkembangan Agama Islam di Bali ini juga di hormati oleh warga Hindu sekitarnya. Serta banyak makam-makam yang di jaga oleh masyarakat Hindu sehingga toleransi di Bali sangat dan Lokasi Makam KeramatHabib Ali bin Umar Bafaqih – Bliau adalah seorang wali yang selama hidupnya banyak menyebarkan Agama Islam di kawasan Kabupaten Jembrana. Bliau merupakan tokok Islam yang berasal dari Kota Banyuwangi yang datang ke Pulau Bali pada tahun 1917. Bliau mendapatkan pendidikan agama islam dari Mekah tahun 1935 dan wafat di usia 107 Tahun pada tahun 1997. Bliau juga mendirikan sebuah Pondok Pesantren yang bernama Syamsul Huda berlokasi di Kampung Ampel Loloan Barat, Kabupaten Jembrana. Raden Mas Sepuh/ Pangeran Mangkuningrat – Yang merupakan anak dari Raja Mengwi ke V yang menikah dengan anggota keluara Kerajaan Blmbangan di Jawa Timur. Semasa kecil, Pangeran Mangkuningrat ini banyak di asuh oleh ibundanya di Blambangan. Dan saat ia beranjak dewasa, ia memutuskan untuk pergi ke Pulau Bali untuk menemui sang ayah yang berada di Kerajaan Mengwi. Saat ia datang ke tersebut terjadilah kesalahpahaman diantara keluarga di Bali, dan karena dirasa tidak ada jalan keluar maka Pangeran Mas Sepuh ini memutuskan untuk kembali ke Blambangan. Namun saat diperjalanan pulang terjadi keributan dengan sekelompok orang bersenjata yang tidak cerita yang mengatakan pada pertempuran tersebut bliau meninggal, ada yang mengatakan bahwah pertempuran tersebut dimenangkan oleh Pangeran dan bliau memutuskan untuk tinggal dan menetap di daerah Pantai Seseh dan akhirnya meninggal lalu dimakamkan disana. Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Abu Bakar Al Hamid – Konon pada dahulu kala, bliau merupakan Guru sekalian seorang penerjemah Bahasa Melayu bagi raja Klungkung dan ia sangat dipercaya oleh Baginda Raja. Sehingga bliau banyak diberikan hadian oleh sang Raja dan juga sebuah tanah untuk pendidikan yang bebas dari Pajak di daerah Kusamba hingga saat sayang ternyata kedekatan bliau dengan raja membuat seorang Patih cemburu dan berecana untuk membunuhnya melalui tangan pembunuh bayaran. Sehingga suatu hari saat Habib Ali sedang keluar kompleks istana dengan menaiki kuda pemberian sang Raja terjadilah pertarungan sehingga menyebabkan Habib tewas dan mayatnya ditemukan oleh masyarakat sekitar lalu dikebumikan di Desa pada malam hari setelah di kebumikan, makam bliau mengeluarkan kobaran api yang besar lalu api tersebut bagaikan bola api yang terbang mencari para pembunuhnya di tempat persembunyian lalu menghanguskan mereka satu-persatu hingga tak tersisa. Habib Ali Zaenal Abidin Al Idrus – Merupakan seorang kuncen juru makam yang menjaga makam kuno. Semasa hidupnya ia juga merupakan seorang ulama besar yang arif dan bijaksana serta memiliki banyak santri yang berasal dari Bali, Lombok dan daerah sekitarnya. Makam Keramat Habib Ali Zaenal ini berlokasi di Kuburan Banjar Kecicang Bali, Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Ali Zaenal Abidin Al Idrus selain sebagai guru ngaji, ia juga merupakan guru tasawuf dan juga guru silat. Dan bliau memiliki tiga orang istri yang mana dari istri pertama memiliki delapan anak, istri kedua memiliki lima anak dan istri terakhir tidak memiliki makam Habib Ali Zaenal Abidin Al Idrus di jaga oleh putra ke-enam Habib, yang bernama Habib Muchdor. Dimana saat itu anaknya yang memprakarsai pembangunan makam dan kemudian penjagaan makam di wariskan kepada adik-adiknya. Syekh Maulana Yusuf Al Baghdi Al Maghribi – Tepat di sebelah makam Habib Ali Zaenal Abidin Al Idrus, terdapat sebuah makam kramat yang tidak seorang pun tau asal usul dari makam tersebut. Diperkirakan makam tersebut sudah ada sekitar 350-400 tahun sebelumnya. Diperkirakan makam tersebut dimiliki oleh Syekh Maulana Yusuf Al Baghdi Al Maghribi, soorang tokoh islam di jamannya. Ada kabar yang berkembang, dimana saat letusan dahsyat Gunung Agung yang begitu hebat, makam ini tidak sedikit pun terkena muntahan lahar maupun hujan abu, bahkan makam ini tidak tersentuh walaupun hanya sebutih pasir. Padahal disekitar makam ini porak-poranda semuanya hancur tak tersisa. Habib Umar bin Maulana Yusuf Al Maghribi – Merupakan seorang wali yang termasuk dalam Wali Pitu Bali yang banyak berjasa memberikan ajaran-ajaran keagamaan Islam di kawasan Desa Candikuning Bedugu, Kecamatan Baturiti, Tabanan dan sekitarnya. Sebelum Habib Umar bin Maulana Yusuf Al Maghribi wafat sekitar abad XV, ia sempat membuat kerajan yang bernama kerajaan Beratan. Hingga pada suatu waktu bliau menjadi puncak bukit untuk bersemedi di puncak bukit. Karena tidak pernah kembali, maka tempat tersebut dibuatkan makam. Hingga saat ini banyak para peziarah yang datang ke puncak bukit ini dimana anda harus berjalan kurang lebih 3 jam jalan kaki menelusuri hutan belantara. Syekh Abdul Qodir Muhammad – memiliki nama lahir yang bernama The Kwan Lie, ia merupakan seorang pengawal Putri Ong Tien yang berlayar menuju Cirebon untuk menikah dengan Sunan Gunung Jati. Dimana setelah tiba disana ua memutuskan untuk berguru ajaran islam kepada. Setelah lama berlajar ilmu islam, ia pun mendapatkan nama Syekh Abdul Qadar Muhammad dan ditugaskan untuk memulai berdakwah di pesisir Pulau Bali mulai dari kabupaten Karangsem, Kabupaten Buleleng hingga Kabupaten ini di samping makam Syekh Abdul Qadar Muhammad teradpat beberapa makam tak bernama yang disebut sebagai murid dari Syekh Abdul Qadar Muhammad. Lokasi makam kramat ini berada di daerah Pantai Lovina berlokasi di pinggir jalan besar yang menghubungkan Gilimanuk dengan Kota Singaraja Bali memang memiliki banyak pesona wisata yang memukai baik itu alam, kebudayaan, kuliner hingga tempat ibadah banyak dicari oleh masyarakat di Bali. Baca juga daftar masjid dan mushollah di Bali, yang bisa menjadi refrensi anda untuk singgah saat hendak sholat di Bali. Atau anda juga bisa melihat refrensi halaman daftar kuliner rumah makan halal di Bali.
Satu-satunya makam Muslim di tengah pemakaman umat Hindu itu terletak di Desa Pemecutan, Kecamatan Denpasar Barat. Makam keturunan Raja Pemecutan itu d ikeramatkan oleh umat Hindu dan juga itu juga menjadi simbol bagaimana sebenarnya umat berbeda keyakinan bisa menyatu. Di sana, tidak pernah ada pengakuan bahwa umat Islam atau umat Hindu yang lebih berhak memelihara makam tersebut. Bahkan di makam itu mereka melebur dalam satu belanga dengan dua warna. Keberadaan makam Siti Khotijah menjadi salah satu alat pemersatu antara umat Muslim dengan Hindu yang merupakan agama mayoritas masyarakat di Pulau Makam Keramat Agung Pamecutan memang menyimpan sejuta misteri yang belum terungkap dengan jelas. Keberadaan makam keramat Putri Raja Badung hingga kini memunculkan tanda tanya seputar kematian sang puteri Pamecutan yang sejak jaman kerajaan Bali menjadi salah satu kerajaan yang di segani. Selain memiliki kekuatan serta pengaruh besar, juga kehadiran seorang Raja Madura, CAKRANINGRAT IV saat berlangsung pergolakan perebutan kekuasaan Kerajaan di Bali pada awal abad ke XVII. Raja Madura ini di kenal memiliki kharisma serta kekuatan yang di butuhkan kerajaan Badung. Kekuatan Kerajaan Badung atas bergabungnya Cakraningrat IV ternyata sanggup mengobarkan semangat berjuang Laskar Pamecutan memenangkan pertempuran antar kerajaan di I Cakraningrat IV Menangkan Sayembara RajaTersebutlah seorang raja di Puri Pemecutan yang bergelar I Gusti Ngurah Gede Pemecutan. Salah seorang putri beliau bernama Gusti Ayu Made Rai. Sang putri ketika menginjak dewasa di timpa penyakit keras dan menahun yakni sakit kuning. Berbagai upaya sudah di lakukan untuk menyembuhkan penyakit tersebut, namun tidak kunjung sembuh pula. Sang raja ketika itu mengheningkan bayu sabda dan idep, memohon kehadapan Hyang Kuasa, di merajan puri. Dari sana beliau mendapatkan pewisik bahwa Sang Raja hendaknya mengadakan sabda pandita ratu atau raja kemudian mengeluarkan sabda “barang siapa yang bisa menyembuhkan penyakit anak saya, kalau perempuan akan di angkat menjadi anak angkat raja. Kalau laki-laki, kalau memang jodohnya akan di nikahkan dengan putri raja”. Sabda Pandita Ratu tersebut kemudian menyebar ke seluruh jagat dan sampai ke daerah Jawa, yang di dengar oleh seorang syeh guru sepiritual dari Yogyakarta. Syeh ini mempunyai seorang murid kesayangan yang bernama Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura. Pangeran kemudian di panggil oleh gurunya, agar mengikuti sayembara tersebut ke puri Pemecutan Bali. Maka berangkatlah Pangeran Cakraningrat ke Bali di iringi oleh empat puluh orang ceritanya, Pangeran Cakraningrat mengikuti sayembara. Dalam sayembara ini banyak Panggeran atau Putra Raja yang ambil bagian dalam sayembara penyembuhan penyakit Raden Ayu. Putra-putra raja tersebut ada dari tanah jawa seperti Metaum Pura, Gegelang, ada dari Tanah Raja Banten dan tidak ketinggalan Putra-putra Raja dari Tanah Bali. Semua mengadu kewisesan atau kesaktiannya masing-masing dalam mengobati penyakit Raden Ayu. Segala kesaktian dalam pengobatan sudah di kerahkan seperti ilmu penangkal cetik, desti, ilmu teluh tranjana, ilmu santet, ilmu guna-guna, ilmu bebai, ilmu sihir, jadi semua sudah di keluarkan oleh para Pangeran atau Putra Raja, tidak mempan mengobati penyakit dan malah penyakit Raden Ayu semakin parah, sehingga raja Pemecutan betul-betul sedih dan panik bagaimana cara mengobati penyakit yang di derita putrinya. Dalam situasi yang sangat mecekam, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang tidak lain adalah Pangeran Pangeran melakukan sembah sujud kehadapan Raja Pemecutan dan mohon di ijinkan ikut sayembara. Raja Pemecutan sangat senang dan gembira menerima kedatangan Pangeran Cakraningrat IV dan mengijinkan mengikuti sayembara. Sang Pangeran minta supaya Raden Ayu d itempatkan di sebuah balai pesamuan Agung atau tempat paruman para Pembesar Kerajaan. Pangeran Cakraningrat mulai melakukan pengobatan dengan merapal mantra-mantra suci, telapak tangannya memancarkan cahaya putih kemudian berbentuk bulatan cahaya yang di arahkan langsung ke tubuh Raden Ayu. Sakit tuan putri dapat di sembuhkan secara total oleh Pangeran jodoh tak akan kemana, begitu pula yang terjadi antara Cakraningrat IV dengan Gusti Ayu Made Rai. Ternyata mereka saling mengagumi dan jatuh cinta saat pertama kali berjumpa. Cinta lokasi di Istan Puri Pamecutan pun terjadi saat proses penyembuhan di lakukan. Atas kesembuhan putrinya, Raja Badung memenuhi janjinya menikahkan kepada pemuda yang sanggup menyembuhkan putri Raja dari penyakit yang di derita. Persiapan pernikahan kedua insan berdarah ningrat inipun di gelar meriah di lingkungan Puri dengan janji sang raja, maka Gusti Ayu Made Rai di nikahkan dengan Pangeran Cakraningrat, ikut ke Bangkalan Madura. Gusti Made Rai pun kemudian mengikuti kepercayaan Sang Pangeran, berganti nama menjadi Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti II Misteri Terbunuhnya Sang Putri RajaBeberapa hari setelah Gusti Ayu Made Rai pulih, Raja mengundang Cakraningrat IV berbincang serius dengan raja. Ternyata, Raja sudah merencanakan pernikahan mereka. Meskipun Cakraningrat IV adalah seorang muslim, Raja tidak mempermasalahkannya dan tetap memenuhi janji nya. Setelah resmi menikah, Cakraningrat beserta istrinya Gusti Made Ayu Rai yang telah berganti nama menjadi Raden Ayu SitiKhotijah atau Raden Ayu Pamecutan untuk kembali ke Bangkalan untuk dipertemukan dengan keluarga besar Cakraningrat IV di kerajaan Madura Barat. Tentunya kehadiran Siti Khotijah di lingkungan keluarga besar Cakraningrat IV di sambut baik. Apalagi sosok Siti Khotijah yang seorang putri Raja Badung memang sangat santun, taat beribadah dan tentunya memiliki kecantikan yang luar Cakraningrat IV, kedudukannya sebagai seorang Raja Bangkalan, titak memungkinkannya untuk meninggalkan takhta kerajaan serta tugas-tugasnya sebagai saat bersamaan dan setelah sekian lama di Madura, Raden Ayu merindukan kampung halamannya di Pemecutan dan meminta izin kepada suaminya untuk menghadap sang ayah di Bali. Cakraningrat IV mengizinkan Raden Ayu untuk pulang ke Balibeserta 40 orang pegiring dan pengawal. Cakraningrat IV memberikan bekal berupa guci, keris dan sebuah pusaka berbentuk tusuk konde yang di selipkan di rambut sang di kerajaan Pamecutan, Siti Khotijah di sambut dengan riang gembira. Namun, kala itu tidak ada yang mengetahui bahwa sang putri telah memeluk agama Isalam menjadi seorang muallaf. Raden Ayu Pamecutan di tempatkan di Taman Istana Monang -Maning Denpasar dengan para hari ketika ada suatu upacara Meligia atau Nyekah yaitu upacara Atma Wedana yang di lanjutkan dengan Ngelingihan Menyetanakan Betara Hyang di Pemerajan tempat suci keluarga Puri Pemecutan, Raden Ayu Pemecutan berkunjung ke Puri tempat kelahirannya. Pada suatu hari saat sandikala menjelang petang di Puri, Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Kotijah menjalankan persembahyangan ibadah sholat maghrib di Merajan Puri dengan menggunakan Mukena Krudung. Ketika itu salah seorang Patih di Puri melihat hal tersebut. Para patih dan pengawal kerajaan tidak menyadari bahwa Puri telah memeluk islam dan sedang melakukan ibadah sholat. Menurut kepercayaan di Bali, bila seseorang mengenakan pakaian atau jubah serba putih, itu adalah pertanda sedang melepas atau melakukan ritual ilmua hitam Leak. Hal tersebut di anggap aneh dan di katakan sebagai penganut aliran ilmu ketidaktahuan pengawal istana, keanehan’ yang di saksikan di halaman istana membuat pengawal dan patih kerajaan menjadi geram dan melaporakan hal tersebut kepada Raja. Mendengar laporan Ki Patih tersebut, Sang Raja menjadi murka. Ki Patih di perintahkan kemudian untuk membunuh Raden Ayu Siti Khotijah. Raden Ayu Siti Khotijah di bawa ke kuburan areal pemakaman yang luasnya 9 Ha. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata kepada patih dan pengiringnya “aku sudah punya firasat sebelumnya mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang sholat atau sembahyang menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak.” Demikian kata Siti Ayu berpesan kepada Sang patih “jangan aku di bunuh dengan menggunakan senjata tajam, karena senjata tajam tak akan membunuhku. Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk konde yang di ikat dengan daun sirih serta di lilitkan dengan benang tiga warna, merah, putih dan hitam Tri Datu, tusukkan ke dadaku. Apabila aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang di sebut kramat”.Setelah meninggalnya Raden Ayu, bahwa memang betul dari badanya keluar asap dan ternyata bau yang keluar sangatlah harum. Peristiwa itu sangat mengejutkan para patih dan pengawal. Perasaan dari para patih dan pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi sangat menyesal dengan keputusan belia . Jenasah Raden Ayu di makamkan di tempat tersebut serta di buatkan tempat suci yang di sebut kramat, sesuai dengan permintaan beliau menjelang di bunuh. Untuk merawat makam kramat tersebut, di tunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan.
sejarah makam siti khadijah di bali